Perlukah Nasionalisasi Perusahaan dan Asset Asing?
Selama
beberapa minggu belakangan ini, terutama setelah kenaikan BBM, ramai media
massa nasional memberitakan aksi protes dan demonstrasi masyarakat. Salah isu
yang menarik diangkat dari protes dan demonstrasi ini adalah munculnya isu
tuntutan nasionalisasi perusahaan dan asset asing. Banyak masyarakat yang
menuntun pemerintah mengikuti langkah Bolivia, Pakistan dana Venezuela
menasionalisasikan perusahaan asing dan mengambil alih asset asing. Isu ini
menarik karena ditawarkan seakan sebagai suatu solusi terhadap kenaikan harga
BBM dan segala masalah bangsa lainnya.
Hal
ini sangat menarik buat saya, pertanyaannya, mungkinkah itu? Jujur saja, ketika
dikaji lebih jauh, para pendemo tidak menawarkan konsep yang jelas tentang apa
yang dimaksud dengan “nasionalisasi perusahaan asing dan pengambil-alihan asset
asing.” Banyak di antara mereka yang hanya berteriak dengan slogan dan tuntutan
nasionalisasi, namun tidak ada penjelasan dan konsep lebih lanjut daripada
tuntutan dan slogan itu. Satu-satunya yang saya bisa peroleh tentang konsep
“nasionalisasi perusahaan asing dan pengambil-alihan asset asing” adalah
tulisan seorang mahasiswa yang meminta pemerintah agar “membatalkan
kontrak-kontrak pengelolaan hasil tambang kita yang sebagian besar sangat
merugikan RI.” Hanya itu dan tidak ada konsep yang lebih jelas dan rinci lagi.
Sangat disayangkan memang.
Apabila
kita kaji dari aspek hokum, nasionalisasi perusahaan dan pengambil-alihan asset
asing telah menjadi bagian dari kebiasaan internasional yang sering terjadi.
Prinsip utama dalam nasionalisasi perusahaan asing dan pengambil-alihan asset
asing adalah kewajiban baginegara untuk memberikan ganti rugi secara “prompt,
effective and adequate”. Memang sebelumnya ada kasus dimana nasionalisasi
perusahaan asing dan pengambil-alihan asset asing tersebut dilakukan oleh
Negara secara sepihak dan tanpa ada ganti rugi yang memadai (tindakan yang
kemudian disebut dengan istilah “expropriation”), namun sekarang tindakan ini tidak
lagi dapat dibenarkan dari segi hokum internasional sendiri. Terutama setelah
PBB mengeluarkannya Resolusi 1803 “ Permanent Sovereignty over National
Resources” yang menegaskan bahwa dalam nasionalisasi perusahaan dan
pengambil-alihan asset asing, Negara harus member ganti rugi yang memadai
terhadap pihak pemilik perusahaan dan asset asing yang diambil alih.
Dalam
sejarahnya, lewat UU NOmor 86 Tahun 1958 Tentang Nasionalisasi
Perusahaan-Perusahaan Asing, Indonesia pernah berusaha melakukan nasionalisasi
perusahaan dan pengambil-alihan asset asing. Nasionalisasi dilakukan terhadap
perusahaan-perusahaan Belanda disertai dengan pengusiran 46.000 pegawai
berkebangsaan asing. Aksi nasionalisasi perusahaan dan pemngambiilalihan asset
asing ini dilakukan tanpa ada ganti rugi dan kompensasi yang layak.
Keputusan
ini berdampak besar terhadap perekonomian Indonesia, bahkan banyak ahli yang
menyebut bahwa keputusan inilah yang menyebabkan keterpurukan ekonomi yang
membawa kejatuhan pemerintahan Soekarni pada tahun 1965. Nasionalisasi ini
tidak tanpa kritik, menurut Sjafruddin Prawiranegara tindakan itu yang tanpa
perencanaan matang akan mendatangkan akibat yang sangat parah pada perekonomian
Indonesia. Bung Hatta mengatakan bahwa tindakan itu hanya dilakukan berdasar
sentimen belaka, tanpa perencanaan matang. Sejarah kemudian menunjukkan bahwa
nasionalisasi perusahaan Belanda yang dijadikan BUMN ternyata pengelolaannya
menjadi berantakan akibat salah urus dan korupsi.
Faktor
utama runtuhnya pemerintahan Soekarno tahun 1965 ialah rusaknya investasi dan
produksi yang disebabkan oleh kebijakan-kebijakan sejak tahun 1957. Wkatu itu
nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing dimulai dan iklim untuk perusahaan
swasta yang tenang berubah menjadi heboh. Pada awal 1960-an pelarian modal
makin menjadi, suku cadang dan bahan mentah tidak tersedia, ekspor merosot dan
barang konsumsi maupun modal menjadi langka. Pemerintah kekurangan sumber daya
rill untuk mengatasi kesenjangan investasi. Pencetakan uang di Peruri Kebayoran
Baru hanya mempercepat laju inflasi. Kalau indeks 1957 = 100, maka indeks biaya
hidup tahun 1960 = 348, lalu naik menjadi 36.000 pada tahun 1965 dan 150.000
pada tahun 1966.
Ditingkat internasional sendiri, muncul tindakan
pemboikotan terhadap komoditas ekspor Indonesia. Salah satu kasus yang sangat
terkenal adalah Bremen Tobacco Case, dimana produk tembakau Indonesia diboikot
di pasar komoditas tembakau internasional di Bremen, Jerman. Aksi ini berlanjut
pada tuntutan hukum yang berkahir dengan kekalahan pihak pemerintah Indonesia.
Pemerintah Indonesia kemudian diwajibkan membayar ganti rugi yang layak kepada
pemilik perusahaan Belanda yang dinasionalisasi.
Kembali pada isu nasionalisasi perusahaan dan aset asing
yang beredar saat ini. Jika kita lihat dari sejarahnya, jelas kebijakan
nasionalisasi ini kontra-produktif. Sebab pertama, kebijakan nasionalisasi
perusahaan dan aset asing secara sepihak tanpa ada ganti rugi yang layak
(Expropriation) seperti jaman Soekarno, hanya akan membawa dampak buruk bagi
perekonomian nasional dan citra Indonesia di mata internasional. Sulit
membayangkan keterpurukan ekonomi di era 1960-an terulang kembali. Jikapun
nasionalisasi tetap dilakukan maka otomatis sesuai prinsip hukum internasional,
pemerintah mesti memberikan kompensasi dan ganti rugi yang layak.
Pertanyaannya, mampukah pemerintah? Sebab lewat “ganti rugi yang layak”
tersebut secara tidak langsung kita sebenarnya membeli perusahaan dan aset
tersebut.
Selain itu di era WTO dan perdagangan global ini, semakin
sulit melihat nasionalisasi perusahaan dan aset asing dilakukan. Kebijakan ini
jelas tidak populer di mata internasional. Selain itu, perekonomian global
tidak lagi bersifat domestik seperti dulu. Sekarang perekonomian tiap negara
terjalin satu dalam jalinan mata rantai ekonomi dunia. Nasionalisasi perusahaan
asing di era modern sendiri seringkali dilakukan lebih karena alasan ekonomi,
seperti nasionalisasi perusahaan asing yang memegang peran vital dalam rangka
menyelamatkan perusahaan tersebut dari kebangkrutan, sebab ada pertimbangan
bahwa apabila kebangkrutan terjadi dapat menimbulkan keguncangan ekonomi.
Komentar
Posting Komentar