Sejarah Perkoperasian Indonesia
Pada tanggal 16 Desember 1895, Raden Aria Wiraatmadja, Patih
Purwokerto, mendirikan De Purwokertosche Hulp en Spaarbank der Irlansdche (Bank
Bantuan dan Simpanan Purwokerto), atau lebih di kenal dengan sebutan Bank Priyayi
Purwokerto. Bank ini didirikan untuk membantu pegawai pemerintah (priyayi)
terlepas dari jeratan lintah darat.
Muhammad Hatta berpendapat, bahwa Bank Priyayi Purwokerto
bukan merupakan bank koperasi. Meskipun demikian, pendirian bank tersebut telah
menggerakkan hati Asisten Residen De Wolff Van Westerrode untuk mengembangkan koperasi-koperasi kredit
di kalangan petani di Seluruh Karesidenan Banyumas. De Wolff Van Westerrode
ingin mengembangkan koperasi kredit model Raiffeisen seperti yang pernah dilihatnya
di Jerman. Tetapi upaya untuk mengembangkan koperasi model Raiffeisen ini tidak
terlaksana. Menurut Ir. Ibnoe Soedjono kegagalan ini disebabkan karena adanya
kesenjangan kultural (cultural gap) antara lingkungan ekonomi modern (tempat
lahir koperasi Raiffeisen) dan lingkungan ekonomi tradisional (di Jawa dengan
sistem gotong-royong yang sifatnya sosial). De Wolff Van Westerrode kemudian
melakukan reorganisasi dengan mengubah nama bank yang didirikan Raden Arya
Wiraatmadja itu menjadi Purwokertosche Hulp Spaar en Landbouwercredit Bank
(Bank Bantuan dan Simpanan serta Kredit Petani Purwokerto). Bersamaan dengan
perluasan bank itu, di seluruh Karesidenan Banyumas didirikan 250 lumbung desa
yang bertugas memberikan kredit dalam bentuk padi.
Berdirinya Bank Priyayi Purwokerto mendorong pemerintah untuk
mendirikan Volkscredit Bank (Bank Kredit Rakyat) di seluruh Jawa dan Madura.
Pada tahun 1934, semua Volkscredit Bank disatukan menjadi Algemeene Volkscredit
Bank yang memiliki cabang di seluruh Indonesia. Volkscredit Bank inilah yang
kemudian menjadi cikal bakal Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Pengembangan cita-cita koperasi di kalangan masyarakat
Indonesia dimulai pada tahun 1908 oleh Budi Utomo. Berdasarkan pemikiran bahwa
rakyat yang lemah ekonominya tidak akan bisa membentuk negara yang kuat, maka
organisasi gerakan nasional menganjurkan pembentukan koperasi di kalangan
rakyat atau membentuk sendiri koperasi-koperasi. Budi Utomo dan Serikat Dagang
Islam (kemudian menjadi Serikat Islam) membentuk koperasi-koperasi rumah tangga
atau toko koperasi (koperasi konsumen) yang disebut “toko andeel”. Tetapi
karena pengetahuan dan pengalaman dalam mengelola koperasi konsumen masih
sangat kurang, maka koperasi-koperasi tersebut tidak bertahan lama.
Melihat perkembangan koperasi yang semakin memasyarakat, maka
pemerintah Hindia Belanda memandang perlu untuk mengeluarkan peraturan
perundangan yang mengatur kehidupan perkoperasian. Belanda mengeluarkan UU No.
431 Tahun 1915 yang isinya antara lain: harus membayar minimal 50 gulden untuk
mendirikan koperasi, sistem usaha harus menyerupai sistem di Eropa, harus
mendapat persetujuan dari Gubernur Jendral, dan proposal pengajuan harus
berbahasa Belanda. Peraturan-peraturan tersebut dirasakan sangat rumit dan
mahal bagi rakyat Indonesia. Kemudian Pemerintah Hindia Belanda membentuk
Komisi Koperasi yang terdiri dari 7 orang Belanda dan 3 orang Indonesia. Komisi
ini bertujuan menyelidiki kemungkinan-kemungkinan bagi koperasi di Indonesia.
Atas rekomendasi Komisi Koperasi, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan UU No.
21 Tahun 1927. Undang-undang baru ini jauh lebih ringan dibanding UU No. 431
Tahun 1915, antara lain: hanya membayar 3 gulden untuk meterai, sistem usaha
sesuai dengan hukum dagang masing-masing daerah, perizinan bisa diperoleh di
daerah setempat, dan proposal pengajuan bisa menggunakan bahasa daerah.
Pada tahun 1927, dr. Soetomo mendirikan Indonesische
Studieclub yang menghimpun segolongan kecil kaum intelektual yang antara lain
mempelajari masalah perkoperasian.
Pada tahun 1929, Partai Nasional Indonesia menyelenggarakan
Konggres Koperasi di Jakarta. Konggres ini membangkitkan kembali semangat
berkoperasi masyarakat indonesia dan mendorong berdirinya banyak koperasi di
Jawa. Kebangkitan koperasi ini mencapai puncaknya pada tahun 1932, setelah itu
koperasi mengalami kemunduran. Hal ini menunjukkan dasar-dasar yang dimiliki
koperasi-koperasi tersebut masih lemah.
Pada tahun 1933 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan UU No.
21 Tahun 1933 yang mirip UU No. 431 Tahun 1915. Dengan dikeluarkannya peraturan
ini, maka di Hindia Belanda berlaku dua peraturan, yaitu: UU No. 21 Tahun 1933
dan UU No. 91 Tahun 1927.
Pada masa pendudukan Jepang tahun 1942, Kantor Pusat Jawatan
Koperasi dan Perdagangan Dalam Negeri dibuka kembali dengan nama Syomin Kumiai
Tyo Dyimusyo, sedangkan kantor-kantor di daerah menjadi Syomin Kumiai Tyo
Sandansyo. Pemerintah Militer Jepang masih memakai UU No. 91 Tahun 1927 tentang
perkoperasian dan mengeluarkan UU No. 23 yang mengatur tata cara pendirian
perkumpulan dan penyelenggaraan persidangan, antara lain disebutkan bahwa untuk
mendirikan perkumpulan, termasuk koperasi harus mendapat izin Shuchokan (setara
dengan Residen).
Pada tanggal 1 Agustus 1944 pemerintah Jepang mendirikan
Kantor Perekonomian Rakyat. Dengan berdirinya kantor ini, maka Jawatan Koperasi
menjadi bagian dari Kantor Perekonomian Rakyat yang diberi nama Kumiai. Kumiai
bertugas mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan koperasi. Kumiai oleh
pemerintah Jepang digunakan untuk membagikan barang-barang kepada rakyat, dan
untuk mengumpulkan hasil bumi untuk keperluan perang tentara Jepang.
Pada tahun 1945, dengan lahirnya kemerdekaan Republik
Indonesia, maka semangat koperasi bangkit kembali. Ada dua penggaruh yang
tampak menggebu dalam menggerakkan koperasi, yaitu semangat mendirikan koperasi
secara besar-besaran untuk mencari keuntungan tanpa mengindahkan dasar-dasar
koperasi yang benar, dan pengaruh jiwa kumiai yang menghendaki terbentuknya
koperasi distribusi.
Pada tanggal 11-14 Juli 1947, orang-orang yang menghendaki
tumbuh dan berkembangnya koperasi-koperasi dengan dasar-dasar yang murni
kemudian menyelenggarakan Konggres Koperasi Indonesia I di Tasikmalaya. Dalam
Konggres Koperasi Indonesia I ini dibentuk Sentral Organisasi Koperasi Rakyat
Indonesia (SOKRI) yang di kemudian hari menjadi Dewan Koperasi Indonesia
(DEKOPIN). Keputusan-keputusan lain yang diambil adalah menetapkan tanggal 12
Juli sebagai hari Koperasi dan mengukuhkan gotong-royong sebagai azas koperasi.
Muhammad Hatta sebagai Wakil Presiden RI mempunyai peranan
besar dalam menggerakkan dan mengembangkan koperasi di Indonesia. Oleh sebab
itu, dalam Konggres Besar Koperasi seluruh Indonesia II di Bandung tahun 1953,
Muhammad Hatta dinobatkan sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
Sejak itu gerakan koperasi mengalami konsolidasi dalam arti
ideologis maupun organisasi. Apalagi setelah menjadi anggota Internasional
Cooperative Alliance (ICA) pada tahun 1956.
Perkembangan Undang-undang Perkoperasian Setelah Kemerdekaan
Pada tahun1949 pemerintah Indonesia mengganti UU No.91 Tahun
1927 dengan UU No. 179 Tahun 1949 yang pada hakekatnya adalah penterjemahan UU
No. 21 Tahun 1927. Pada tahun 1958 pemerintah mengeluarkan UU No. 79 Tahun 1958
dan mencabut UU No. 179 Tahun 1949. UU No. 79 ini adalah undang-undang yang
dibuat berdasarkan UUDS pasal 38 (kemudian menjadi UUD 1945 pasal 33).
Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 pemerintah mengeluarkan
PP No. 60 Tahun 1959 untuk menyesuaikan fungsi UU No. 79 Tahun 1958 dengan
haluan pemerintah dalam rangka melaksanakan demokrasi ekonomi terpimpin. Pada
tahun 1965 pemerintah mengganti PP No. 60 Tahun 1959 dengan UU No. 14 Tahun
1965. Undang-undang baru ini sangat dipengaruhi oleh konsep pemikiran
komunisme. Hal ini tampak dari konsepsi dan aktivitas koperasi yang harus
mencerminkan gotong-royong berporos NASAKOM. UU No. 14 Tahun 1965 hanya
bertahan dua bulan karena setelah itu terjadi peristiwa G-30 S/PKI dan lahirnya
Orde Baru.
Setelah dua tahun koperasi dikembangkan tanpa undang-undang,
karena pengganti undang-undang yang lama belum ada, maka pada tahun 1967
pemerintah mengeluarkan UU No. 12 Tahun 1967 tentang pokok-pokok perkoperasian.
Pada tahun 1992 pemerintah mencabut UU No. 12 Tahun 1967 karena dianggap sudah
tidak relevan lagi dan mengeluarkan UU No. 25 Tahun 1992 tentang perkoperasian.
Undang-undang ini kemudian berlaku sampai sekarang.
Sumber : Ibnoe Soedjono
Komentar
Posting Komentar